Saturday, May 4, 2013

Rasa Ingin Tahu Itu Tumbuh

Rasa ingin tahu anak, sejatinya merupakan karakter asli yang bisa tumbuh menjadi semangat pantang menyerah, atau sebaliknya berubah menjadi rasa frustasi sebagai akibat respon negatif oleh lingkungan.

Saya ingin berbagi cerita saat berjibaku dengan pertanyaan anak yang terus tumbuh sejalan dengan usia pertumbuhan anak. Semua orang tua memiliki masalah yang sama saat menghadapi pertanyaan anak yang begitu ajaib, bagaimana ada pertanyaan seperti itu , begitulah kita dibuat bingung. Bingung bagaimana menjawab yang tepat, atau seperti yang dimaksudkan oleh kita namun di fahami anak. Meskipun kita pernah kecil, tapi sulit juga menjelaskan sesuatu seperti apa yang dipikirkan oleh anak.

Yang dapat kita lakukan sebaiknya paling tidak menjaga semangat rasa ingin tahunya, dan tidak kecewa saat ia tidak puas dengan jawaban kita. Tentu jawabannya juga harus benar, sebab bila kita asal menjawab, maka suatu hari kita akan menuai masalah sebab anak akan menganggap itu kebenaran. Pertanyaan itu mulai muncul dari , “ ini apa, ini apa , ini apa” ( yang diulang beratus kali tanpa jeda, tak peduli kita belum sempat menjawabnya). Lalu “kenapa begitu?”, kalau begini bagaimana?. Sampai taraf ini anak sudah mulai mempertimbahkan akibat yang berbeda dari suatu kejadian, dan ini belum selesai. Semakin besar anak, pertanyaan anak terus tumbuh pula- tentu saja sebab syaraf dan intelektual anak juga terus berkembang.

Kita beruntung bila masih terus diberondong pertanyaan, sebab itu salah satu tanda dari rasa ingin tahu yang juga terus tumbuh dan semangat belajar yang terpelihara. Sebab bila sebaliknya, maka saat anak mulai sekolah , semangat belajar justru sudah menyusut, sementara orang tua justru sedang semangat mendorong anak untuk belajar. Ye…. dulu aku semangat, di tanggapi setengah hati, sekarang sich cape dech… ! (begitu kali yang ada dalam pikiran anak-anak). Kan kalau tanya-tanya pasti jawabannya “ sudah dong nanya melulu!” atau “ mamah gak tahu!” semoga anda adalah orang tua yang terus semangat untuk menjawab setiap pertanyaan anak anda. Sebab saat anak bertanya, itulah saat belajar yang sesungguhnya. Itulah saat anak kita tumbuh besar dan semakin besar, baik fisiknya, mental-intelektualnya juga dunianya.
Ini adalah contoh cerita yang sering di alami orang tua. Seorang teman yang memiliki dua anak kecil ( yg besar 4 tahun, si kecil masih bayi). Kebetulan hujan sedang lebat dan beberapa kali terdengar bunyi petir. Si bayi menangis sulit di tenangkan. Si kakak merasa heran dan bertanya pada ayahnya, “ yah, kenapa ade nangis terus? , “ . ayahnya sambil lalu menjawab,” karena ada hujan”. Mungkin maksudnya, ade menangis karena takut oleh suara keras dari petir dan hujan. Sayangnya jawaban ayah tidak cukup jelas, sedangkan anak sudah mengaitkan hujan dan nangisnya adik. Lain kali saat adiknya nangis dan hari tidak hujan , si kakak bingung lagi, “kok adik nangis sih, kan tidak ada hujan?” Nah lho.. ini adalah logika sebab akibat yang sangat sederhana, namun sulit kita jelaskan pada anak-anak, karena pemikiran kita terlalu rumit, sedangkan pemikiran anak baru saja terbentuk.
Pertanyaan –pertanyaan yang keluar dari mulut mungil itu adalah upaya untuk membuat koneksi dalam peta kognitifnya. Sesuatu yang seharusnya masih sangat sederhana. Saya sudah tidak ingat lagi berapa banyak pertanyaan yang di lontarkan anak kami, terus menerus sampai saat ini. Rasa ingin tahu itu terus tumbuh dan pertanyaan yang muncul makin dahsyat saja. adakalanya kita diskusi dengan sesama orang tua hanya sekedar untuk membahas jawaban apa yang tepat untuk suatu pertanyaan anak SD kelas 3. Duh ….. are you smarter than fith grader??
Kalau sekarang kita benar-benar tidak tahu, jangan kaget, kalau anak kita berkomentar,” kok ibu bodoh sih?” saya faham bahwa bukan maksud mereka merendahkan kita. Itu hanya bahasa yang sederhana untuk memberi makna bahwa ketidaktahuan itu sama dengan kebodohan. Tentu kita memang tidak harus lebih pintar dari anak kita, kita tak akan pernah lebih pintar. Tapi kita orang tua yang lebih dulu tumbuh haruslah lebih bijaksana dan matang. Itulah yang saya rasa sekarang. Saya tak pernah pungkiri bahwa anak-anak kita semakin pintar, semakin luas wawasannya, dan semakin canggih cara berpikirnya. Tapi kita meski sudah jadul, tetaplah orang dewasa . Kedewasaan itulah yang dibutuhkan untuk menjadi orang tua. Setuju…?
Ini adalah pertanyaan tempo hari yang membuat saya berkerut. ,”Bu, kalau ada orang Indonesia bekerja di negara A sebagai Spy, lalu dia kasih tau semua hal tentang Indonesia, bagaimana?”
Gak usah bingung, mereka tidak sungguh2 ingin tahu jawaban yang sebenarnya, dan kita tak perlu konsultasi pada ahli politik untuk menjadi orang tua yang bijaksana. Selamat berjuang menjadi orang tua.


No comments:

Post a Comment